Fathul Qorib 002- Thaharah – Jenis Air

Fathul Qorib 002- Thaharah – Jenis Air

Penulis berkata : “Kitab” secara bahasa adalah bentuk kalimat masdar yang bermakna mengumpulkan. Sedangkan secara istilah adalah nama suatu jenis dari beberapa hukum. Adapun “bab” adalah nama bagi satu macam yang masuk di bawah cakupan jenis hukum tersebut.

Lafahz “ath thaharah” dengan dibaca fathah huruf tha’nya, secara bahasa bermakna bersih. Adapun secara syara’, maka terdapat definisi yang cukup banyak di dalam menjelaskan arti lafadz “ath thaharah”.

Diantara defisininya adalah ungkapan ulama, thaharah adalah melakukan sesuatu yang menjadi sebab di perbolehkannya melakukan sholat. Yaitu wudlu, mandi, tayammum, dan menghilangkan najis.

Adapun lafadz “ath thuharah” dengan dibaca dhammah huruf tha’nya, adalah nama sisa air -yang digunakan untuk bersuci.

Dan ketika air merupakan alat untuk bersuci, maka mushannif istithrada [menjelaskan walau bukan pada pembahasannya] macam-macamnya air.

Maka beliau berkata, air yang boleh, maksudnya syah digunakan untuk bersuci ada tujuh macam air. Yaitu air langit, maksudnya air yang turun dari langit yaitu hujan, air laut (yaitu air asin), air bengawan / sungai (yaitu air tawar), air sumur, air sumber, air salju, dan air embun. Ketujuh macam air ini terkumpul dalam ungkapanmu :

air yang bisa digunakan bersuci adalah air yang turun dari langit atau keluar dari bumi dalam bentuk sifat apapun yang sesuai dengan aslinya

Kemudian, air terbagi menjadi empat bagian :

1- Air Mutlak

Salah satunya adalah air suci dzatnya dan bisa mensucikan pada yang lainnya serta tidak makruh menggunakannya, yaitu air mutlak (bebas) dari qayyid (ikatan nama) yang lazim (menetap). Sehingga tidak berpengaruh pada kemutlakkan air ketika berupa qayyid yang munfak[ lafadz yang diikat dengan lafadz lain yang memiliki arti tertentu], sepeti air sumur.

2- Air Musyammas

Dan yang kedua adalah air yang suci dzatnya, bisa mensucikan pada yang lainnya, dan makruh menggunakannya pada badan tidak pada pakaian. Yaitu air musyammas, yaitu air yang dipanaskan dengan pengaruh sinar matahari.

Air musyammas ini hanya dimakruhkan secara syara’ bila digunakan di daerah panas dengan menggunakan wadah yang dapat dicetak (terbuat dari logam), selain wadah yang terbuat dari emas dan perak, karena elemen keduanya adalah bersih (dari karat).

Dan ketika air musyammas itu menjadi dingin, maka hukum makruhnya menjadi hilang. Namun imam an Nawawi lebih memilih hukum tidak makruh secara mutlak. Dan juga di makruhkan menggunakan air yang terlalu panas (bukan karena sinar matahari) dan terlalu dingin.

3- Air Musta’mal & Mutaghayyir

Dan bagian ketiga adalah air yang suci dzatnya namun tidak bisa mensucikan pada yang lainnya. Yaitu air musta’mal. Yaitu air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadats, atau menghilangkan najis jika memang tidak berubah sifatnya dan tidak bertambah ukurannya, setelah terpisah dari tempat yang di basuh beserta menghitung air yang diserap oleh tempat yang dibasuh.

Dan air mutaghayyir (air yang berubah). Maksudnya, termasuk dari bagian yang ketiga ini adalah air yang berubah salah satu sifatnya sebab tercampur oleh sesuatu yang suci, dengan perubahan yang mencegah kemutlakan nama air. Maka sesungguhnya air tersebut hukumnya suci namun tidak mensucikan.

Baik perubahannya itu nampak oleh indra, ataupun kira-kira saja seperti air yang tercampur oleh sesuatu yang sifatnya sesuai dengan sifat-sifat air, seperti air mawar yang sudah tidak berbau dan air musta’mal.

Jika perubahannya tidak sampai menghilangkan kemutlakkan nama air tersebut, dengan gambaran perubahan yang disebabkan tercampur barang yang suci itu hanya sedikit, atau sebab tercampur dengan barang yang sifatnya sesuai dengan sifat-sifat air dan di kira-kirakan terjadi perubahan namun ternyata tidak berubah, maka hukum thahuriyyah (bisa mensucikan) air tersebut tidak hilang.

Dengan ungkapan “khalathahu “(sesuatu yang mencampuri), mushannif mengecuali perubahan air yang di sebabkan barang-barang suci yang hanya bersandingan dengan air (tidak mencampuri). Maka sesungguhnya air tersebut tetap mensucikan, walaupun perubahannya banyak.

Begitu juga hukumnya tetap mensucikan, adalah air yang berubah sebab tercampur barang-barang mukhalith yang tidak bisa dihindari oleh air, seperti lumpur, lumut, barang-barang yang berada di tempat berdiamnya air dan tempat aliran air, serta air yang berubah sebab terlalu lama diam. Maka sesungguhnya air-air tersebut hukumnya suci mensucikan.

4- Air Mutanajjis

Dan bagian yang ke empat adalah air najis, maksudnya air yang terkena najis. Air najis ini terbagi menjadi dua.

Salah satunya adalah air najis yang sedikit. Yaitu air yang terkena najis, baik sampai berubah (sifatnya) ataupun tidak, dan kondisi air tersebut kurang dari dua Qullah. Dari bagian ini (air mutanajis yang sedikit), mengecualikan bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya ketika dibunuh atau dipotong anggota badannya seperti lalat, jika memang tidak sengaja dimasukkan dan tidak sampai merubah sifat air. Begitu juga dikecualikan adalah najis yang tidak nampak oleh mata. Maka kedua najis ini tidak sampai menajiskan air. Dan juga dikecualikan beberapa bentuk najis yang disebutkan di kitab-kitab yang luas pembahasannya.

Dan mushannif memberi isyarah terhadap bagian kedua dari bagian air yang ke empat ini dengan ungkapan beliau, “atau air yang terkena najis itu ukurannya banyak, dua Qullah atau lebih, namun berubah sifatnya, baik berubah sedikit ataupun banyak.”

Ukuran Dua Qullah

Ukuran dua Qullah adalah kurang lebih lima ratus Rithl negara Baghdad, menurut pendapat al Ashah.

Menurut Imam An Nawawi, Satu Ritlh Negara Baghdad adalah seratus dua puluh delapan dirham lebih empat sepertujuh dirham.

Mushannif tidak menjelaskan / meninggalkan bagian yang kelima yaitu air yang mensucikan namun haram, seperti wudlu’ dengan air hasil ghasab atau air yang di sediakan untuk minum.

Zalfaz komentar:

Dari keterangan diatas ada beberapa hal yang sering ditanyakan yaitu bolehkah kita bersuci (wudhu/mandi) dengan menggunakan air hangat ? Jawabannya adalah boleh, dengan syarat air yang digunakan sebelum dihangatkan adalah air mutlak, yaitu bukan air terkena najis atau air yang berubah / tercampur benda lain yang menghilangkan kemutlakannya. Jadi intinya suhu air tidak mempengaruhi kemutlakan air tersebut.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *