Ihya Ulumuddin – Keajaiban Hati #002 Hati, Ruh, Nafs, dan Akal

Ihya Ulumuddin – Keajaiban Hati #002 Hati, Ruh, Nafs, dan Akal

Bab Sebelumnya : Keajaiban Hati #001 alam Malakut

PENJELASAN: arti HATI, RUH, NAFS, AKAL dan apa yang dimaksudkan dengan nama – nama itu.

Ketahuilah, bahwa nama – nama yang empat ini dipakai .pada bab-bab ini. Dan sedikitlah dalam kalangan ulama – ulama yang terkemuka, yang mendalam pengetahuannya tentang nama-nama ini, tentang perbedaan pengertian – pengertiannya, batas – batasnya dan apa yang dinamakan dengan nama nama tersebut. Kebanyakan kesalahan itu terjadinya karena kebodohan dengan arti nama – nama ini dan perumpamaannya diantara apa yang dinamakan itu yang bermacam-macam. Dan kami akan menguraikan arti nama-nama tersebut, yang menyangkut dengan maksud kami.

Istilah Pertama: istilah “HATI”.

Dan itu ditujukan kepada dua pengertian.

Hati – pengertian Pertama: daging yang berbentuk buah shanaubar (buah berbentuk bundar memanjang dari itu dinamakan “hati sunubari”) terletak pada pinggir dada yang kiri. Yaitu: daging khusus. Dan didalamnya ada lubang. Dalam lubang itu darah hitam. Ituiah sumber nyawa dan tambangnya. Dan kami tidak bermaksud sekarang menguraikan bentuknya dan caranya. Karena itu menyangkut dengan maksud dokter – dokter. Dan tiada menyangkut dengan maksud – maksud keagamaan.

Hati itu ada pada hewan, bahkan ada pada orang mati. Dan apabila kami menyebutkan secara mutlak, perkataan hati (al-qalb) dalam Kitab ini, maka tidaklah kami maksudkan yang demikian. Karena itu adalah sepotong daging, yang tidak berharga. Dan itu termasuk sebagian dari alam yang dapat diperintah dan dilihat (alamul-mulki wasy-syahadah), Karena hewan pun dapat mengetahuinya dengan panca indra melihat, lebih – lebih lagi manusia.

Hati – pengertian Kedua. yaitu: yang halus (lathifah), ketuhanan (rabbaniyah):, kerohanian (ruhaniyah). Dia dengan: hati yang bertubuh (al-qalbi al-jismany) itu, mempunyai hubungan.

Yang halus itu, ialah hakikat manusia. Dialah yang merasa, yang mengetahui dan mengenal dari manusia. Dialah yang ditujukan dengan pembicaraan, yang disiksa, yang dicaci dan yang dicari. Ia mempunyai hubungan dengan hati yang bertubuh. Akal kebanyakan manusia, heran untuk mengetahui cara hubungannya. Karena hubungannya itu menyerupai hubungan sifat (aradl) dengan tubuh (jisim). Hubungan sifat dengan yang bersifat (maushuf). Atau hubungan pemakai alat dengan alatnya. Atau hubungan orang bertempat dengan tempatnya.

Dan menguraikan yang demikian itu, termasuk apa yang kami takuti, karena dua pengertian.

Pertama: bahwa yang demikian itu menyangkut dengan Ilmu Mukasyafah. Dan tidaklah maksud kami dari kitab ini selain ilmu Mu’amalah.

Kedua: bahwa mencari hakikatnya itu akan menyampaikan rahasia roh (nyawa). Dan yang demikian itu termasuk hal yang tidak diperbolehkan bahkan oleh Rasulullah SAW. Maka tidaklah bagi orang lain (seperti kita orang awam) untuk mengutarakannya.

Yang dimaksudkan bahwa apabila kami menyebutkan perkataan hati (alqalb) dalam kitab ini, maka yang kami maksudkan ialah yang halus (lathifah) itu. Dan maksud kami, ialah menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, bukan menyebutkan hakikatnya pada zatnya. Dan ilmu mu’amalah itu mengkehendaki mengenal sifat-sifat dan keadaannya. Dan tidak menghendaki kepada menyebutkan hakikatnya .

Istilah Kedua: NYAWA “(RUH)”.

Dia juga ditujukan pada yang. menyangkut, dengan jenis maksud kami, karena dua pengertian:

Ruh – pengertian Pertama: tubuh halus (jisim lathif). Sumbernya itu lubang hati yang bertubuh. Lalu bertebar dengan perantaraan urat- urat yang menjalar ke seluruh bagian tubuh yang lain. Mengalirnya dalam tubuh, membanjirinya cahaya hidup, perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman daripadanya kepada anggota – anggotanya itu. menyerupai membanjirnya cahaya dari lampu yang berkeliling pada sudut – sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai kepada sebagian rumah, melainkan terus disinarinya dan hidup itu adalah seperti cahaya yang kena pada dinding. dan nyawa itu adalah seperti lampu. Berjalannya nyawa dan bergeraknya pada batin, adalah seperti bergeraknya lampu pada sudut – sudut rumah, dengan digerakkan oleh penggeraknya.

Para dokter, apabila menyebutkan secara mutlak perkataan: nyawa, maka yang dikehendaki oleh mereka ialah: pengertian ini. Yaitu saluran yang halus, yang terbentuk oleh denyutan al-qalb (jantung). Dan tidaklah uraiannya menjadi maksud kami, karena yang menyangkut dengan itu adalah maksud dokter yang mengobati tubuh.

Adapun.maksud dokter agama, yang mengobati hati, sehingga terbawa kesisi Tuhan Semesta alam, tidaklah sekali-kali menyangkut dengan uraian nyawa itu.

Ruh – pengertian kedua: yaitu yang halus dari manusia yang mengetahui dan yang merasa. Dan itulah yang kami uraikan tentang salah satu pengertian hati. Dan itulah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya:

monggo disimak bab selanjutnya adalah Ihya Ulumuddin – Keajaiban Hati #003

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.” Al-Isra’ · Ayat 85.

Dan itu adalah urusan ketuhanan yang menakjubkan, yang melemahkan kebanyakan akal dan paham daripada mengetahui hakikatnya.

Istilah Ketiga: “NAFS”.

Dia juga terdiri dari beberapa pengertian.

Nafs – pengertian pertama: Bahwa yang dirnaksudkan dengan yang demikian itu, ialah pengertian yang sesuatu yang memiliki kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia, sebagaimana akan datang uraiannya (dalam bahasa kita disebut nafsu). Pemakaian ini adalah yang biasa pada ahli tasawwuf. Karena mereka maksudkan dengan nafs (nafsu) itu, ialah pokok yang menghimpunkan sifat tercela pada manusia. Lalu mereka berkata “harus melawan nafsu dan menghancurkannya.” Seperti isyarat dari sabda Nabi SAW:

“اَعْدَى عَدُوِّكَ نَفْسُكَ الَّتِي بَيْنَ جَنْبَيْكَ

Artinya: “Musuhmu yang terbesar, ialah nafsumu yang berada diantara dua lambungmu” (Dirawikan Al-Baihaqy dari lbnu Abbas. Pada sanadnya, terdapat Muhammad bin Abdurrahman bin Ghazwan, salah seorang pemalsu hadits.).

Nafs – pengertian kedua: yaitu yang halus (lathifah) yang telah kami sebutkan diatas, dimana pada hakikatnya itulah manusia. Yaitu diri manusia dan zatnya. Tetapi disifatkan dengan bermacam-macam sifat, menurut berbagai macam keadaannya. Apabila dia itu tenang dibawah perintah dan jauh dari kegoncangan disebabkan godaan nafsu – syahwat, maka dinamakan NAFSU MUTHNIAINNAH (diri atau jiwa yang tenang). Allah Ta’ala berfirman tentang contohnya:

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةًۚ

Artinya: “Hai jiwa yang tenang – tenteram! Kembalikah kepada Tuhanmu, merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya” QS. Al-Fajr, ayat 27-28

Jiwa (nafsu) dengan pengertian pertama, tidaklah tergambar kembalinya kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya dia itu menjauh dari Allah. Dan dia itu termasuk golongan setan. Apabila tidak sempurna ketenangannya, akan tetapi jadi pendorong kepada nafsu syahwat dan godaannya, maka dinamakan: NAFSU LAWWAMAH (jiwa yang mencela). Karena jiwa itu mencela tuannya ketika teledor pada menyembah Tuhannya. Tuhan berfirman:

وَلَآ اُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Artinya : “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat mencela (kejahatan)’‘ QS.Al-Qiamah, ayat 2.

Kalau nafsu (jiwa) itu meninggalkan godaan, tunduk dan patuh, menurut kehendak nafsu – syahwat dan panggilan setan, maka dinamakan nafsu yang menurut kepada yang jahat (AN-NAFSUL AMMARAH BISSUUI). Allah Ta’ala berfirman, menceritakan tentang Yusuf a.s. atau isteri seorang pembesar (Mesir yang membujuk Yusuf a.s.).

وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Surat Yusuf Ayat 53)

Kadang – kadang boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan suka menyuruh kepada yang buruk itu, ialah NAFS dengan pengertian pertama (Nafsu). Jadi, NAFS dengan pengertian pertama itu, sangat tercela. Dan dengan pengertian kedua (Nafsul Mutmainah) itu, terpuji. Karena dia adalah nafsu (diri) manusia; Artinya zat dan hakikatnya, yang mengetahui Allah Ta’ala dan pengetahuan lainnya. ·

Istilah Keempat: “AKAL.

Ini juga memiliki pengertian yang bermacam – macam, yang telah kami sebutkan pada “kitab ilmu”. Dan yang menyangkut dengan maksud kami dari ada dua pengertian:

Akal – pengertian pertama: Sesungguhnya, kadang – kadang dimaksudkan dengan akal itu adalah pengetahuan tentang hakikat segala keadaan. Maka akal itu, ibarat dari sifat – sifat ilmu, yang tempatnya berada di hati (zalfaz– “memori”).

Akal – pengertian kedua: sesungguhnya,  kadang – kadang dimaksudkan dengan akal itu  ialah yang memperoleh pengetahuan itu. Dan itu adalah hati, yakni yang halus itu.

Kita mengetahui, bahwa tiap-tiap orang yang berilmu, maka. ia mempunyai wujud pada dirinya. Yaitu pohon yang berdiri dengan sendirinya.Dan ilmu itu suatu sifat yang bertempat padanya. Dan sifat itu, bukan benda yang disifatkan. Kadang-kadang akal itu dimaksudkankepada sifat orang yang berilmu. Dan kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan sebagai tempat pengetahuan, yakni yang mengetahui. Dan itulah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi SAW.

أول ما خلق الله العقل

Artinya: ”Yang pertama-tama dijadikan oleh Allah, ialah akal” (Hadits ini sudah dipaparkan pada “Kitab Ilmu”.).

Sesungguhnya ilmu itu sifat (aradi), yang tidak tergambar bahwa dia itu makhluk pertama. Tetapi, HARUS, bahwa adalah tempat itu, yang dijadikan sebelum ilmu atau bersama ilmu. Dan karena tidak mungkin ditujukan istilah tersebut kepada ilmu.

Pada hadits, Allah Ta’ala berfirman kepada akal: ”Menghadaplah!”. Lalu akal menghadap. Kemudian Allah berfirman kepada akal: “Berbaliklah!’, lalu akal berbalik …………… sampai akhir hadits (Hadits ini sudah diterangkan dulu, pada “Bab Ilmu”).

Jadi, sesungguhnya telah terbuka kepada kita bahwa pengertian nama – nama tersebut itu ada. Yaitu hati jismani (hati yang berbentuk jisim), roh jasmani (berbentuk jisim), nafsu-syahwat dan ilmu.

Maka inilah empat pengertian yang ditujukan kepada empat perkataan. Dan pengertian yang kelima, yaitu yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan perkataan empat itu keseluruhanya, sering kali pemakaiannya kepada yang halus itu.

Maka pengertian itu lima dan perkataannya empat. Tiap-tiap perkataan, ditujukan kepada dua pengertian. Dan kebanyakan ulama meragukan kepada hal tersebut, perbedaan kata – kata tersebut dan kebiasaan pemakaianya. Maka anda akan melihat mereka, mengibaratkan kata itu seperti gambaran – gambaran hati ( al-khawaathir), dan mereka mengatakan ini gambaran akal, ini gambaran jiwa, ini gambaran hati dan ini gambaran nafsu (diri).

Dan orang yang belajar berikutnya, tidak akan kaget dengan perbedaan pengertian nama – nama itu. Dan untuk menghindari dari yang demikian itu, kami telah dahulukan uraian nama – nama tersebut. Bilamana tersebut perkataan hati dalam Al-Qur-an dan Sunnah, maka yang dimaksudkan, ialah pengertian yang dipahami oleh manusia. Dan yang mengetahui hakikat segala sesuatu kadang – kadang secara tidak langsung (dengan jalan kinayah/ ibarat), seperti disebutkan tentang hati itu, maka hati yang di dalam dada. Karena diantara yang halus itu dan antara jisim hati, ada hubungan khusus. Dan yang halus itu, walaupun ada sangkutannya dengan seluruh tubuh dan dipakai dalam seluruh tubuh, akan tetapi ia bersangkutan dengan tubuh itu, dengan perantara hati. Maka hubungan yang pertama, ialah dengan hati. Dan seolah-olah hati itu, tempatnya yang halus tersebut, kerajaannya, alamnya dan kendaraanya.

Dan karena itulah, Sahl At-Tusturi menyerupakan hati dengan “Arasy” dan dada dengan “Kursi”. Dan tidak ada yang menyangka beliau berpendapat seperti itu, karena demikian itu mustahil. Tetapi ia bermaksud dengan demikian, bahwa hati itu kerajaanNya dan saluran pertama untuk mengatur dan memerintah.

Maka keduanya (hati dan dada) disandingkan pada manusia, sedangkan ‘Arasy dan Kursi disandingkan kepada Allah Ta’ala. Dan juga penyerupaan hal tersebut adalah tidak sebanding, kecuali dari beberapa sudut pandang tertentu. Dan juga uraian itu tidak layak disampaiakn dengan tujuan kita sekarang. Maka dari itu, hendaklah kita lewati saja.

Zalfaz komentar :

Kata paragraf terakhir di ungkapkan oleh Imam Ghozali agar kita di tahap awal ini menghindari ibarat tersebut di atas, karena kawatir akan terjadi kesalah pahaman atau kesalahan dalam pemahaman, oleh karena itu beliau menghendaki untuk “dilewati saja”.

Bab Berikutnya 003

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *